Gagal Lagi?

March 31, 2019

Di penghujung Maret ini, saya akan menceritakan sedikit pelajaran yang menurut saya wajib didokumentasikan. Yang mungkin akan berguna sebagai bahan perenungan ketika saya dihadapkan pada masalah serupa, nantinya. Meskipun, tiap permasalahan akan selalu meningkat tingkat kerumitannya.


Akhir Februari lalu, saya ingat betul, dengan penuh syukur meski tak bisa dipungkiri hati masih bertanya-tanya. Menjelang maghrib, sebuah pesan menyangkut di email saya, menyatakan bahwa paper kelompok saya diterima dalam sebuah ajang konferensi. Grup kami pun mulai rame dan tak henti-henti mengucap syukur. Merasa bahwa kami memang layak. Namun juga sedikit bertanya-tanya, yang entah pada siapa karena merasa ganjal dengan berbagai hal. Benar saja, ternyata proses seleksinya tidak begitu ketat, yang mungkin, menurut asumsi kami, semua paper akan otomatis diterima sebagai peserta,

Sedikit menurunkan semangat kami. Tapi, it is okay, kami pun berusaha menghibur diri dan mulai melakukan steps yang harus ditempuh. Termasuk mencari beberapa informasi mengenai rancangan pengeluaran. Selain itu, kami juga sudah mulai menyusun proposal untuk pengajuan dana ke fakultas.

Di sisi lain, saya mengabarkan kabar gembira ini ke kedua orang tua saya. Terutama ayah yang kapalnya seringkali berada di Busan. Betapa senang beliau, dan bilang "ya wis nanti kalo emang pas kapal ayah di Busan, ayah samperin." Uh, aku terharu, menangis, menahan rindu, sambil dalam hati berucap "aamiin" sembari meminta ayah untuk mendoakan kelancaran pengurusan kelengkapannya.

Namun, seiring berjalannya waktu, semakin dekat dengan hari H, tim kami, entah, seakan kehilangan semangat dan pride untuk melanjutkan berjuang. Entah, mungkin saya juga terlanjur lemas karena harus segera mengurus visa dan membeli tiket pesawat, sedang saya pun nggak ada uang sama sekali. Lebih tepatnya kami kebingungan saat itu. Uang fakultas mungkin akan turun pasca acara.

Akhirnya, kami pun memutuskan untuk nggak melanjutkan kesempatan ini. Merasa kurang worth it karena hampir semua peserta berasal dari Indonesia dan mostly ternyata banyak juga anak UNAIR yang keterima. Kami pun mencoba legowo ketika itu. Namun, semakin mendekati hari H, beberapa teman yang memutuskan berangkat mulai memposting bagaimana perjalanan mereka di beberapa platform masing-masing. Justru dari sanalah, yang akhirnya membuat saya belajar dan tersadar akan beberapa hal.

Pertama, saya sempat meragukan "darimana" uangnya.
Kurang lebih 2 minggu sebelum acara, passport saya baru selesai diperpanjang. Artinya, step selanjutnya adalah mengurus visa yang juga lama dan agaknya sedikit ribet. Mengingat kita harus mengurusnya di Kedubes Korea yang ada di Jakarta. Belum lagi, harus segera booking flight ticket yang pada saat itu, saya juga nggak mungkin nodong Ibu untuk minjamin uang. Intinya, kami sudah berhenti di titik itu. Padahal, kalau kami bisa memaksimalkan usaha, insyaAllah bakal ada jalan. Sayangnya, kami meragukan hal itu. Hal ini lah yang seolah menampari saya karena naif telah menyia-nyiakan kesempatan dan kemampuan untuk berusaha.

Kedua, mungkin saya terlalu sombong
Karena saya merasa level kompetisi ini hanya untuk orang Indonesia, maka kurang worthy rasanya ketika kita harus seribet itu ngurus keberangkatan ke Korea. "Toh ya disana ketemunya orang-orang Indonesia, banyak anak UNAIR pula.". Dari sini saya belajar, bahwa ada niat yang keliru. Harusnya saya tetap niatkan untuk belajar, karena pasti hal ini akan jadi perjalanan yang sarat makna. Selain niat belajar, tafakkur alam dan juga jelajah bumi Allah di belahan yang lain seharusnya mampu menjadi motivasi saya. Namun, karena kesombongan dan keengganan saya, akhirnya saya melewatkan pelajaran yang mungkin bisa diambil untuk bekal perjalanan selanjutnya. Ya Allah, ampuni hamba. Semoga Engkau berikan kembali kesempatan serupa.

Ketiga, saya melewatkan bertemu dengan ayah
Terlalu banyak seandainya di pikiran saya saat ini. Salah satunya adalah, seandainya saya masih mengusahakan, mungkin saya akan bisa bertemua ayah di sana. Ya Allah lindungi ayah hamba, semoga Engkau beri ia kesehatan dan selalu menggenggam iman. Ayah, tunggu kabar baik lagi, insyaAllah.

Keempat, belajar mengikhlaskan
Di awal-awal kabar diterimanya kami, teman saya selalu mengingatkan perkataan salah satu sahabat nabi, Umar. Beliau mengatakan bahwa apa yang menjadi takdir kita sebagai manusia tidak akan melewatkan kita, sementara apa yang telah kita lewatkan maka ia bukan takdir kita. Hal itu, mampu menjadi peredam di awal, seolah kami sudah mengetahui keputusan final kami nantinya seperti apa which was, ya benar, nggak mengusahakan. Dari sini, saya juga belajar mengikhlaskan dengan segala pelajarannya. Termasuk, menyadari bahwa postingan seseorang di media akan mampu mempengaruhi seseorang yang lain. Meskipun, kadangkala saya juga sering khilaf saking bahagianya sehingga berdalih ingin berbagi, ingin memotivasi, tapi lupa bahwa banyak hati yang harus dijaga.

Jadi, beberapa hal itu adalah pelajaran-pelajaran yang bisa dipetik dari secuil episode yang mungkin hambar. Tapi, hikmahnya semoga mampu menguatkan rasa syukur dan sabar. Semangat yang sedang memperjuangkan sesuatu. Allah dulu, Allah lagi, Allah terus.


You Might Also Like

0 komentar